Mengapa Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Harus Ditolak? -->
Cari Berita

Free Space 970 X 90px

Mengapa Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Harus Ditolak?

Jumat, 02 September 2022

Mengapa Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Harus Ditolak?. 

Oleh: Affandi Ismail Hasan (Ketua Umum PB HMI)


Rencana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi jenis Pertalite dan Solar oleh Pemerintah telah beberapa pekan terakhir kembali santer terdengar setelah beberapa bulan lalu memicu gelombang aksi protes yang sangat besar dari kalangan pelajar, mahasiswa, buruh dan elemen masyarakat sipil lainnya di berbabagai daerah di Indonesia. Rencana kenaikan harga BBM bersubsidi ini dihembuskan dari dalam istana Negara melalui beberapa Menteri Kabinet Jokowi, diantaranya adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Investasi & Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, juga Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman & Investasi Luhut Binsar Panjaitan. Bahkan secara terbuka Bahlil Lahadalia tegas mengatakan bahwa masyarakat Indonesia harus menyiapkan diri dengan kenaikan harga BBM di mana harga Pertalite naik menjadi Rp.10.000 per liter. Luhut Binsar Panjaitan pun pada satu kesempatan saat memberikan kuliah umum _(stadium general)_ di Universitas Hasanuddin pada Jum’at 19 Agustus 2022, mengatakan bahwa akan ada kenaikan harga BBM dan olehnya itu Presiden Jokowi sudah mengeluarkan berbagai indikasi bila subsidi tidak lagi bisa ditahan.

Diketahui bahwa rencana kenaikan harga BBM bersubsidi ini berdasarkan pada alasan Pemerintah yang mengatakan bahwa sudah terlalu besarnya jumlah Anggaran Pendapatan & Belanja Negara (APBN) yang dikeluarkan oleh Pemerintah untuk menanggung beban subsidi BBM. Alasan seperti yang telah disebutkan tadi juga dipertegas oleh Presiden Jokowi yang pada satu kesempatan mengatakan bahwa saat ini beban APBN sudah terlalu besar untuk menanggung beban biaya subsidi BBM yang mencapai nilai sebesar Rp. 502 triliun. Sehingga dikhawatirkan APBN tidak kuat dalam menahan besarnya beban biaya subsidi tersebut dan jika dibiarkan maka subsidi BBM justru bisa terus membengkak pada kisaran Rp. 200 triliun yang artinya secara total bisa mencapai Rp. 700 triliun. Itulah alasan yang didalilkan atau disampaikan oleh Pemerintah. Apakah benar demikian? Sudah saatnya rakyat kritis dan jangan buru-buru percaya.

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai salah satu kekuatan _civil society_ di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini dengan Tegas Menolak rencana kenaikan harga BBM bersubsidi yang dihembuskan oleh Pemerintah. Tegasnya penolakan HMI terhadap rencana kenaikan harga BBM tersebut tentunya sangat beralasan, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Situasi ekonomi sebahagian besar rakyat Indonesia dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir ini dapat dikatakan masih sangat terpuruk diakibatkan oleh karut marut dan rusaknya tatakelola Pemerintahan hampir pada semua sektornya terutama di sektor keuangan, kemudian ditambah terpaan Pandemi Covid 19 yang melanda Indonesia. Tentu masih sangat segar di ingatan kita semua saat Pemerintah sendiri mengatakan bahwa sedang fokus pada agenda pemulihan ekonomi Nasional yang artinya menegaskan bahwa situasi ekonomi dan kesejahteraan rakyat Indonesia sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Jika melihat data dari Bank Dunia _(World Bank)_ tahun 2021 jumlah rakyat/penduduk miskin di Indonesia berjumlah 138,9 juta jiwa dengan pendapatan di bawah Rp. 31.086,7/orang/hari (USD 2,09, jika nilai tukar rupiah per $ 1 = Rp. 14.899,25 per tanggal 2 September 2022) dan/atau di bawah Rp. 1.000.000/orang/bulan. Mereka yang berpendapatan rendah tersebut antara lain terdiri dari kalangan petani, nelayan, buruh, tenaga honorer, usaha mikro, sektor informal, _etc.,_ dan tentunya sangat dimungkinkan jumlah penduduk miskin di Indonesia bertambah pada tahun 2022 ini.

2. Kenaikan harga BBM bersubsidi sudah pasti akan memberikan dampak buruk secara domino terhadap kemampuan rakyat kelas menengah ke bawah dalam pemenuhan kebutuhan hidup (sandang, pangan dan papan) mereka yang salah satunya dikarenakan ikut naiknya harga kebutuhan-kebutuhan pokok _(primer)_ lainnya di pasar. Jadi bukan saja dampak negatifnya yang secara langsung akan dirasakan oleh kelompok masyarakat yang telah disebutkan pada point 1 (satu) di atas, tetapi juga berdampak pada kebutuhan masyarakat yang proses produksi dan/atau distribusinya harus menggunakan BBM, sudah pasti akan mengalami kenaikan harga. Lalu jika demikian situasinya apakah mungkin 138,9 juta jiwa penduduk miskin Indonesia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Benar ada Bantuan Langsung Tunai (BLT) BBM sebesar Rp. 600.000 untuk 4 (empat) bulan yang diberikan oleh Pemerintah kepada 20,65 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dan kepada 16 juta pekerja sebagai bentuk kompensasi atas naiknya harga BBM yang dialokasikan dari dana sebesar Rp. 12,4 triliun dari total penambahan dana bansos sebesar Rp. 24,17 triliun dan per tanggal 31 Agustus 2022 Presiden Jokowi sudah memulai penyaluran BLT BBM tersebut, di mana penyalurannya diberikan secara bertahap melalui kantor Pos di seluruh Indonesia. Berdasarkan catatan yang telah dihimpun, perlu diketahui oleh publik bahwa pembagian BLT BBM yang dilakukan oleh Jokowi bersamaan dengan rencana kenaikan harga BBM yang disebut-sebut akan diumumkan dalam waktu dekat ini, bahkan kabarnya Jokowi telah memegang harga baru dari Pertalite dan Solar ( _Sumber_ : detikfinance 1 September 2022). Namun demikian pertanyaan fundamentalnya adalah apakah BLT BBM sebesar Rp. 150.000/bulan dengan pengalokasian per 2 (dua) bulan sekali tersebut mampu menopang daya beli masyarakat? Rasanya akal sehat kita harus mengatakan tidak. Sebab kalau dihitung secara matematis artinya yang diterima oleh 20,65 juta KPM dan 16 juta pekerja hanya sekitar Rp. 5.000 per hari dari BLT BBM tersebut dan meskipun ditambah dengan pendapat rata-rata Rp. 1.000.000 per bulan dari 138,9 juta penduduk miskin Indonesia berdasarkan data _World Bank_ di atas, maka pastinya masih tidak dapat menopang daya beli dan menjamin kebutuhan hidup masyarakat. Maka dapat disimpulkan bahwa BLT BBM tidak lebih hanyalah alat (instrument) bagi Penguasa Rezim Jokowi guna meredam amarah rakyat Indonesia atas kondisi ekonomi yang semakin terpuruk saat ini.   

3. Hal yang paling mengerikan sebagai dampak kenaikan harga BBM bersubsidi adalah ancaman akan terjadinya inflasi yaitu suatu kondisi di mana terjadi kenaikan harga barang dan jasa secara umum yang terjadi secara terus menerus dalam waktu jangka panjang. Sebagai contoh, dijelaskan bahwa jika terjadi kenaikan harga Pertalite dari Rp. 7.650/liter menjadi Rp. 10.000/liter atau naik sekitar 30% maka inflasi akan naik 3,6%, di mana setiap kenaikan 10% BBM bersubsidi, inflasi bertambah 1,2%. Perlu diketahui bahwa inflasi yang dialami oleh Indonesia saat ini nyaris menyentuh angka 5% dan kalaupun harga BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan maka inflasi diprediksikan akan tetap bergerak menyentuh angka 6% pada akhir tahun 2022 ini. Artinya jika inflasi naik 3,6% sebagai dampak kenaikan harga BBM bersubsidi, maka secara total inflasi Indonesia akan mencapai 9,6%. Seketika harga BBM bersubsidi naik maka para pelaku bisnis transportasi baik yang konvensional maupun yang _online_ seperti pengusaha bus, travel, taxi, ojek dan sejenisnya akan dengan segera menaikan tarif jasa angkutannya. Selain itu pula seperti yang sudah disinggung pada point ke 2 (dua) di atas, sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dengan berbagai jenis produknya khususnya kuliner juga pasti akan melakukan penyesuaian harga karena lebih dahulu terdampak dan cukup sensitif terhadap perubahan harga BBM. Kondisi yang telah digambarkan di atas linier dengan kemampuan daya beli masyarakat yang semakin melemah dan itu artinya jumlah masyarakat yang masuk dan kemudian terjebak di dalam kubangan garis kemiskinan akan semakin bertambah banyak. Tentunya situasi yang demikian ini tidak boleh dibiarkan oleh seluruh pihak yang berkepentingan atas stabilitas Negara Indonesia yang sangat kita cintai ini, tidak terkecuali masyarakat sipil yang masih hidup di bawah garis kemiskinan _(wong cilik)_. Kita tidak ingin melihat Indonesia menjadi negara bangkrut seperti Sri Lanka dengan krisis moneter dan krisis politik yang melanda salah satu diakibatkan karena inflasi yang begitu tinggi dan tidak terkendalikan lagi ditambah kejahatan korupsi yang menggurita. Namun bukan hal yang mustahil dengan melihat tatakelola Pemerintahan saat ini, situasi Indonesia juga bisa seperti Sri Lanka bahkan mungkin lebih parah daripada itu bila Rezim ini tidak segera berbenah sehingga membuat ketimpangan ekonomi di tengah-tengah masyarakat semakin lebar yang kemudian akan menjadi salah satu faktor yang dapat mendelegitimasi Rezim Jokowi itu sendiri.

Sedikitnya 3 (tiga) alasan di atas itulah yang mendasari HMI menolak dengan tegas, sekali lagi *MENOLAK DENGAN TEGAS* rencana Pemerintah untuk menaikan harga BBM bersubsidi yang dinilai akan semakin menyusahkan, menyengsarakan dan menambah penderitaan kurang lebih 50% dari populasi 270 juta jiwa rakyat Indonesia.

(red)